Di dalam ruang kelas XI A1 SMA Cita Raya, terdapat gadis yang sedang duduk sendiri di pojok kanan kelas. Cantik, tinggi, putih, dan smart mungkin pikiran itu yang terlintas ketika ada cowok yang melihat dirinya. Namun, gadis itu bukanlah siswa baru di kelas itu. Gadis itu bernama Dea. Entah mengapa beberapa hari ini, dia kelihatan murung. Duduknya yang semula bersama sahabat karibnya, Tari . Kini sudah tidak lagi. Entah apa yang terjadi pada gadis cantik itu. Tari pun sampai bingung dibuatnya. Tari yang penasaran dengan keadaan sahabatnya itu, ia berinisiatif untuk bertanya kepada Dea, istirahat nanti.
Teng . . . teng . . . teng . . . bunyi lonceng tanda istirahat berbunyi. Tari yang biasanya langsung lari ke kantin, untuk kali ini tidak, karena ia ingin bertanya kepada Dea. Dea yang sedari tadi berdiam diri, dibuat kaget ketika Tari tiba-tiba duduk di sebelahnya. Dengan wajah yang segera ingin tahu, Tari akhirnya bertanya pada sahabatnya itu.
“Ada apa denganmu De? Beberapa hari ini, kamu terlihat banyak diam dan menjauhiku, apa aku berbuat salah sama kamu?” Tanya Tari.
Dea masih diam saja, ia tidak menjawab pertanyaan Tari. Ada sedikit ketakutan dimatanya. Tari mengulang pertanyaannya lagi, sampai Dea mau menjawab.
“Aku nggak apa-apa” jawab Dea dengan suara bergetar.
Tari melongo.
“Hanya itu yang bisa kamu ucapkan kepadaku kini???!!”
Dea tetap diam. Entah apa yang dipikirkan sahabatnya itu, Tari tak peduli, lalu ia pergi meninggalkan Dea.
Jam dinding menunjukkan pukul 15.00 , tiba saatnya untuk pulang sekolah. Dea keluar dengan tergesa-gesa, Tari melihatnya, tapi Tari tidak curiga dengan kelakuan sahabatnya itu.
“Mungkin ada urusan sampai ia berlarian seperti itu” pikir Tari.
Dea berlari menuju tempat parkir, ia menghampiri seorang cowok, dia adalah Rio. Rio anak XI S2, ia tampan, cool, tinggi, putih, dan smart. Sepadanlah sama Dea.
“Ayo naik, kita jalan-jalan dulu baru aku anter pulang” kata Rio.
Dea mengiyakan ajakan Rio. Motor pun melaju, meninggalkan SMA Cita Raya. Dalam perjalanan, Rio membawa motornya pelan-pelan, agar ia bisa menikmati berboncengan berdua dengan Dea, cewek yang ia idam-idamkan sejak kelas X. Akhirnya, Rio memberanikan diri untuk bertanya kepada Dea. Karena, sedari tadi ia deg-degan setengah mati.
“Kita mau pergi kemana De?” tanya Rio.
“Terserah kamu aja” jawab Dea.
Jawaban yang Dea lontarkan, bagi Rio serasa seperti menang lotre 1 milyar. Betapa senangnya hati Rio saat itu.
Setelah berkeliling naik motor, Rio memutuskan berhenti di suatu tempat. Tempat itu sangat indah, banyak bunga dan kupu-kupu beterbangan di sana, ada tempat duduk untuk berdua di dekat kolam ikan yang berada di tengah taman, sungguh indah.
Dea terperangah melihatnya.
“Tempat apa ini Rio? Indah sekali”
“Ini surga kita Dea”
Dea kaget mendengarnya.
“Maksud kamu apa Io?”
“Aku bawa kamu ke sini, sekalian aku mau jujur sama kamu De. Aku sayang kamu, mau nggak kamu jadi pacarku?”
Dea benar-benar tak menyangka, Rio akan berkata seperti itu, ia diam, bingung dengan jawabannya.
“Gimana De, kamu mau apa nggak?”
“Aku bingung Io, aku butuh waktu”
“Berapa hari?”
“2 hari”
“Ya udah, nggak apa-apa, aku akan nunggu kamu”
“Yaya, pulang yuk, udah sore”
Rio mengiyakan ajakan Dea. Ia langsung memacu motornya dengan cepat, karena ia sedikit kecewa harus menunggu jawaban dari Dea.
Sampai rumah, Dea langsung pergi ke kamarnya. Ia merebahkan badannya di atas kasurnya yang empuk, sembari melihat jam yang menunjukkan pukul 17.30 .
“Untung, Papa dan Mama belum pulang” pikirnya.
Ia teringat kembali, saat Rio mengungkapkan perasaannya tadi, ia akan menjawab YA atau TIDAK. Dea bimbang. Sebenarnya, Dea merasa bersalah dengan seseorang akan keadaannya yang sekarang. Yaitu dengan Tari, sahabatnya. Karena, Tari juga suka dengan Rio, lebih awal malah daripada Dea. Tari suka dengan Rio sejak kelas X. Tapi, Tari tidak pernah sekalipun dekat dengan Rio. Kini, semua terjawab. Ternyata, Dea menjauhi Tari akhir-akhir ini, karena ia tidak ingin Tari tahu akan kedekatannya dengan Rio. Kalau Tari sampai tahu, Dea tak tahu apa yang harus ia katakan pada Tari. Ia pasrah bila akhirnya Tari membenci dirinya.
“Hati nggak bisa dibohongi, aku akan terima Rio jadi cowokku, aku juga sayang dia. Terserah nanti apa yang terjadi, aku akan tanggung resikonya” kata Dea, sembari bangun dari tempat tidurnya bersiap untuk mandi.
Esoknya, saat Dea tengah berjalan untuk berangkat sekolah, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya.
“Plak!” tepukan itu membuyarkan lamunan Dea.
“Tari?”
“hhe, jangan kaget gitu dong, sante aja!”
“Ngapain kamu disini?”
“Maaf De, aku sengaja ngikutin kamu dari rumah, biar aku bisa tahu tentang kamu yang akhir-akhir ini jadi pendiem”
“Aku nggak apa-apa Tar, bener. Aku duduk sendiri dan jauh dari kamu, karna aku lagi pingin sendiri aja”
Tari terdiam.
“Nggak mungkin, pasti ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari aku!!?”
“Nggak, kalo aku mau bohong apa ke kamu, nggak ada untungnya juga”
“Tapi, aku ngerasa aneh aja, beberapa hari ini kamu kayak gitu ke aku”
“Nggak apa-apa Tar, tenang aja”
“Yaya, ya udahlah” kata Tari, mengakhiri pembicaraan.
Dea menatap Tari kuat-kuat, ia terpaksa berbohong akan keadaannya yang sekarang.
“Maafkan aku sahabat” batin Dea.
Sesampainya di sekolah, Dea berpapasan dengan Rio di koridor kelas. Jantung Dea berdegup kencang, tatkala menatap mata Rio.
“Hai” sapa Rio.
Dea tak menjawab, ia langsung pergi ke kelasnya.
“Hai juga” jawab Tari.
Rio bingung, niat dia menyapa Dea, malah dijawab Tari. Tapi, ia tak peduli. Rio hanya bisa diam melihat Dea yang pergi meninggalkannya.
“Salam buat sahabatmu ya?” kata Rio, sambil berlalu meninggalkan Tari.
“heh? Oww, yaya” jawab Tari.
Sesampainya di kelas, Tari menghampiri Dea yang sedang duduk melamun di bangkunya.
“Istirahat nanti, aku mau ngomong sama kamu!”
“Ngomong apa Tar?”
“Ntar kamu juga tahu sendiri” kata Tari, sambil meninggalkan Dea.
Jam 09.00 waktu istirahat pertama tiba. Tari mengajak Dea ke kantin. Mereka langsung duduk di dekat etalase toko dan memesan makanan dulu.
“Langsung to the point aja, kamu suka sama Rio?” tanya Tari.
Dea kaget bukan main.
“Kok Tari bisa tahu??” batin Dea.
“Jawab De! Jangan cuma diem!”
“Iya Tar, aku suka sama Rio, aku sayang Rio!”
Betapa hancur hati Tari, mendengar pengakuan sahabatnya itu.
“Apa!!?? Jadi, selama ini kamu hianatin aku De??”
“Maafin aku Tar, hati ini nggak bisa dibohongi”
“Sahabat macem apa kamu! Tega kamu De!” kata Tari dengan nada emosi.
Tari langsung pergi meninggalkan Dea.
“Tari. . . Tari !” seru Dea, yang berusaha memanggil kembali Tari.
Tapi, Tari tidak memperdulikannya lagi.
Pulang sekolah, Rio mencari Dea di kelasnya. Tapi, sampai disana, ia hanya bertemu Tari, ia tak melihat Dea di kelasnya.
“Tar, tahu Dea ada di mana nggak?”
“Ngapain kamu cari-cari panghianat itu?! Dia nggak ada disini !” jawab Tari kasar.
“heh! Aku tanya baik-baik, situ malah marah-marah! Kalau lagi punya masalah jangan dilampiasin ke orang lain dong!”
“Ow iya ya, kamu nggak tahu apa-apa ya??” tanya Tari dengan bodohnya.
“Emang ada apa sebenernya?”
“Jujur, aku suka sama kamu Io, tapi ternyata Dea juga suka sama kamu, padahal dia sahabatku sendiri, dan sekarang aku lagi marahan sama dia”
“Apa!!?? Tar, aku butuh kejelasan, kita cari Dea sekarang!”
Tari mengiyakan ajakan Rio. Mereka berdua langsung mencari Dea. Seluruh sudut sekolah mereka sambangi. Tapi, hasilnya nihil. Tiba-tiba, Rio teringat sesuatu.
“Aku tahu Dea ada dimana, ayo cepet naik ke motorku!”
“Iya” jawab Tari.
Rio memacu motornya dengan cepat, sampai-sampai Tari hampir terjatuh karena Rio ngebut. Rio yakin pasti Dea ada di tempat itu.
Sampai di tempat itu, Rio langsung mencari Dea. Tari yang baru pertama kali ke tempat itu, terkagum-kagum dibuatnya. Ternyata, tempat itu tempat yang Rio tunjukkan waktu ia menembak Dea.
“Tar, jangan bengong aja, katanya mau cari Dea?!! Ayo!”
“Iya, iya, sabar”
Rio mengelilingi taman itu, ia memanggil-manggil nama Dea, tapi ia tetap tak melihat ada Dea disana. Rio tetap mencoba mencarinya lagi bersama Tari. Tiba-tiba, Rio melihat seorang gadis yang sedang menangis duduk sendirian di sudut taman paling belakang.
“Itu Dea! Dugaanku bener Tar, kalo dia ada disini !”
Rio dan Tari langsung menghampiri Dea.
“De, kamu nggak apa-apa kan??” tanya Rio yang langsung memeluk Dea.
“Aku nggak apa-apa Io” jawab Dea, yang juga membalas pelukan Rio.
Betapa hancur hati Tari, melihat orang yang ia sayang berpelukan dengan sahabatnya, di depan mata kepalanya sendiri.
“Ehem. . .” goda Tari.
Dea lalu melepas pelukan Rio.
“Aku ke sini sama Rio, karna kita butuh kepastian kamu De”
“Kepastian gimana??” Tanya Dea.
“Kamu pilih aku atau Rio???”
Dea diam, lalu ia berkata.
“Maafin aku Tar, aku milih Rio. Aku sayang Rio”
Tari terdiam, sulit baginya untuk menerima keadaan ini. Ia menangis. Hatinya hancur.
“Jadi, kamu mau terima aku De?” tanya Rio.
“Iya Io, aku mau terima kamu jadi cowokku”
“Akhirnya, kamu mau De, makasih”
“Iya, sama-sama”
Tari yang menyaksikan kejadian itu, langsung mengulurkan tangannya memberi selamat kepada Dea dan Rio.
“Selamat De, kamu udah bahagia sama pilihanmu, walaupun aku sakit, aku akan terima, asal kamu bahagia sahabatku” kata Tari sambil terisak.
“Makasih Tar, maafin aku udah bikin kamu kayak gini”
“Nggak apa-apa Tar, aku maafin kamu”
“Yah, kita bisa ambil hikmah dari semua ini. Kita mulai lagi persahabatan ini dari nol, biar kita tetep bisa sama-sama terus” kata Rio.
“Ya” jawab Dea dan Tari.
Akhirnya, Tari bisa menerima dan memahami pilihan sahabatnya itu, walaupun menyakitkan baginya harus melihat Rio dengan orang lain, bukan dengan dirinya. Tapi, sekarang semua itu bukan masalah baginya. Karena, berkat keikhlasannya itu, ia tidak akan kehilangan sahabat tercintanya dan pujaan hatinya, Rio.
S E L E S A I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar